Oleh Anis Matta*
RASANYA
PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas
masalah yang satu ini. Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak
menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidaksetujuan itu?
Kenyataan
seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah dan pergerakan
kita. Dan itu lumrah saja. Karena, merupakan implikasi dari fakta yang
lebih besar, yaitu adanya perbedaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan
majemuk.
Kita
semua hadir dan berpartisipasi dalam dakwah ini dengan latar belakang
sosial dan keluarga yang berbeda, tingkat pengetahuan yang berbeda,
tingkat kematangan tarbawi yang berbeda. Walaupun proses tarbawi
berusaha menyamakan cara berpikir kita sebagai dai dengan meletakkan
manhaj dakwah yang jelas, namun dinamika personal, organisasi, dan
lingkungan strategis dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua
kemungkinan perbedaan.
Di
sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan
patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan, taat dalam keadaan
terpaksa bukanlah pekerjaan mudah. Itulah cobaan keikhlasan yang paling
berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman
spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah,
salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap
hasil syuro.
Jadi,
apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani
"pengalaman keikhlasan" seperti itu? Pertama, marilah kita bertanya
kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui
suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang
mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk
mempertahankannya? Kita harus membedakan secara ketat antara pendapat
yang lahir dari proses ilmiah yang sistematis dengan pendapat yang
sebenarnya merupakan sekedar "lintasan pikiran" yang muncul dalam benak
kita selama rapat berlangsung.
Seadainya
pendapat kita hanya sekedar lintasan pikiran, sebaiknya hindari untuk
berpendapat atau hanya untuk sekedar berbicara dalam syuro. Itu
kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, ngotot atas dasar lintasan
pikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya
menyaksikan para duat yang ngotot mempertahankan pendapatnya tanpa
landasan ilmiah yang kokoh.
Tapi,
seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens
dan sistematis, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaidah yang
diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang
benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi
mungkin benar."
Kedua,
marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah
pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau
sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita
sadari atau tidak kita sadari, mendorong kita untuk "ngotot"? Misalnya,
ketika kita merasakan perbedaan pendapat sebagai suatu persaingan.
Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai
kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan
kebenaran objektif, walaupun —karena faktor setan— kita mengatakannya
demikian.
Bila
yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti
memenangkan gengsi dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt.
Sebab, itu adalah jebakan setan yang boleh jadi akan mengantar kita
kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela
adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala
bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal
yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak akan
pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi lega
dan tidak perlu ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita.
Ketiga,
seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan
pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau
bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan
kesatuan dan keutuhan shaff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih
penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi
memang lebih benar.
Karena,
berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu padu dan
utuh. Kesatuan dan keutuhan shaff jamaah bahkan jauh lebih penting dari
kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi, seandainya kita kalah
perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi
kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak
tertandingi setelah iman kepada-Nya.
Seadainya
kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan
keutuhan shaff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi dampak
negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat resikonya
atau menciptakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan
pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Bisa juga berupa
mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang
memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logis,
tepat waktu, dan tanpa resiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus
merupakan satu dari sekian banyak rahasia ilmu-Nya.
Dengan
begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro karena hikmah
tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan,
alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di
sepanjang pengalaman dakwah kita.
Keempat,
sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu
banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas,
tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan
persatuan, tentang makna tawadhu dan kerendahan hati, tentang cara
menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita
memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi
ilmiah yang kokoh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna
keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas,
tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada jamaah.
Jangan
pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari
kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkokoh tradisi ilmiah kita.
Memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada
waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban
perbedaan, memperkokoh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati
terhadap begitu banyak ilmu dan rahasia serta hikmah Allah swt. yang
mungkin belum tampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang
akan datang.
Perbedaan
adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak
bisa menikmati perbedaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan
banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahasia
kepribadian akan tampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi
atau tidak. ***
*diambil dari buku Anis Matta: 'Menikmati Demokrasi' (cetakan 1, Juli 2002)
nb:
Ustadz Anis memang seorang yang briliant, visioner. Jauh lama sebelum
'hiruk pikuk' prahara jama'ah seperti yang sekarang ini, beliau sudah
memberi guide bagi jama'ah ini agar tetap eksis, kokoh dalam menghadapi
'segala kemungkinan yang bakal terjadi'. [admin]
---
sumber: http://pkskrukut.multiply.com/journal/item/49
sumber: http://pkskrukut.multiply.com/journal/item/49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar