Update Berita:

Puasa & Lebaran Bisa Berbeda Hari di Negeri yang Berbeda

Muhammad bin Abi Harmalah menceritakan dari Kuraib bin Abi Muslim (w. 98 H),

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم .

Bahwa Ummul Fadhl binti Al Harits[1] mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata, “Ketika sampai di Syam, aku pun menyelesaikan keperluan Ummul Fadhl. Dan saat masuk Ramadhan, aku masih di Syam. Aku melihat bulan (hilal) pada malam Jum’at. Kemudian, pada akhir Ramadhan, aku telah datang kembali di Madinah. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menanyakan kabarku dan menyinggung soal hilal. Dia berkata; ‘Kapan kalian melihat hilal?’

Aku berkata; ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Ibnu Abbas berkata; ‘Kamu melihatnya sendiri?’ Aku berkata; ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah juga puasa.’ Ibnu Abbas berkata; ‘Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, dan kami sekarang masih puasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari atau melihat bulan.’ Aku pun berkata; Apa kamu tidak cukup dengan rukyah Muawiyah dan puasanya?’ Kata Ibnu Abbas; ‘Tidak. Seperti inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kita.”

Takhrij

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayub, Qutaibah bin Said, dan Ali bin Hujr, dari Ismail bin Ja’far dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib bin Abi Muslim.[2]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1985), At Tirmidzi (629), An-Nasa`i (2084), Ahmad (2653), Ad-Daraquthni (2234), Ibnu Khuzaimah (1810), Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah (2656), dan Ath Thahawi (410); juga dari Kuraib bin Abi Muslim.

Hikmah dan Ibrah

    Hadits ini menyebutkan bahwa perbedaan 1 Ramadhan dan 1 Syawal sangat mungkin terjadi di negeri yang berbeda atau berjauhan letaknya.
    Bersama penduduk Syam, Kuraib melihat hilal Ramadhan pada malam Jum’at. Sementara di Madinah, Ibnu Abbas dan penduduk Madinah melihat hilal Ramadhan pada malam Sabtu.
    “Kami sekarang masih puasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari atau melihat bulan,” maksudnya jika tidak melihat hilal pada tanggal 29 Sya’ban, Ibnu Abbas dan penduduk Madinah akan menyempurnakan puasa Ramadhan sebanyak 30 hari, sebagaimana yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
    “Tidak. Seperti inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kita.” Maksudnya, Ibnu Abbas dan penduduk Madinah tidak harus mengikuti Muawiyah dan kesaksian penduduk Syam, karena yang diajarkan Nabi dalam mengawali dan mengakhiri puasa adalah dengan melihat bulan. Sementara mereka melihat bulan pada malam Sabtu, bukan malam Jum’at sebagaimana penduduk Syam.
    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dalam beberapa kelompok:

Pertama; Setiap negeri bisa berbeda tergantung rukyah mereka. Dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas ada yang menguatkan pendapat ini. Demikian diceritakan Ibnul Mundzir dari Ikrimah, Al-Qasim, Salim, dan Ishaq. Sedangkan At-tirmidzi menceritakannya dari Ahlul ilmi dan tidak menceritakan yang lain. Sementara Al-Mawardi menceritakan salah satu pendapat dari madzhab Syafi’i.

Kedua; Apabila hilal dilihat di suatu negeri, maka ia berlaku atas negeri-negeri yang lain semuanya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Maliki. Tetapi Ibnu Abdil Barr menceritakan ijma’ yang sebaliknya, dia mengatakan bahwa para ulama sepakat yang demikian tidak mesti berlaku di negeri-negeri seperti Khurasan dan Andalusia. Al-Qurthubi berkata; ‘Para syaikh kami mengatakan jika rukyatul hilal tampak jelas di suatu tempat, kemudian disampaikan ke negeri lain dengan kesaksian dua orang, maka negeri tersebut harus puasa.’ Ibnul Majisyun berkata; ‘Suatu negeri tidak harus puasa dengan kesaksian penduduk negeri lain, melainkan dengan kesaksian penduduk negeri itu sendiri. Namun jika penguasa tertinggi telah menetapkannya, maka ketetapan ini berlaku atas semua negeri yang berada dalam wilayahnya, karena negeri-negeri tersebut terhitung sebagai satu negeri di bawah kekuasaannya.’ Sebagian madzhab Syafi’i mengatakan, jika negeri-negeri itu berdekatan, maka hukumnya satu. Adapun jika berjauhan, maka ada dua pendapat; tidak wajib menurut mayoritas ulama, sedangkan Abu Ath-Thayyib dan sekelompok ulama mengatakan wajib. Al-Baghawi mengatakan, (yang terakhir) ini adalah pendapat Asy-Syafi’i.

Selanjutnya, ketentuan tentang ukuran jauh juga ada beberapa pendapat; Yang pertama, berdasarkan ikhtilaful mathali’ (perbedaan tempat munculnya hilal). Demikian pendapat orang-orang Irak dan Ash-Shaidalani, yang dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudhah dan Syarh Al-Muhadzdzab. Kedua; berdasarkan jarak qashar shalat. Demikian pendapat Imam Al-Baghawi yang dishahihkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarh Muslim. Ketiga; berdasarkan perbedaan wilayah. Keempat; setiap negeri yang bisa melihat hilal dengan jelas tanpa ada halangan, maka ia wajib puasa. Sedangkan yang tidak melihat hilal, tidak harus mengikuti yang lain.[3] Demikian diceritakan dari As-Sarakhsi. Yang kelima, yaitu pendapat Ibnul Majisyun yang sudah disebutkan di atas. Dalilnya, adalah kewajiban untuk puasa dan berbuka bagi orang yang melihat hilal sendirian, sekalipun perkataannya tidak bisa dijadikan pegangan yang lain. Ini adalah pendapat imam madzhab yang empat dalam masalah puasa. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Asy-Syafi’i mengatakan; dia berbuka diam-diam. Sedangkan mayoritas yang lain mengatakan; meneruskan puasanya sebagai sikap kehati-hatian.”[4]

[1] Ummul Fadhl, yaitu Lubabah binti Al Harits Al Hilaliyah Radhiyallahu ‘Anha, istri Al Abbas bin Abdil Muththalib, saudari Maimunah Ummul Mukminin.

[2] Shahih Muslim, Kitab Ash Shaum, Bab Bayan Anna Likulli Balad Ru`yatahum, hadits nomor 2580.

[3] Sekadar contoh sederhana saja: Jika Jawa Timur dan Jawa Barat melihat hilal, maka wajib puasa. Sedangkan Jawa Tengah yang tidak melihat hilal, tidak wajib puasa, meskipun Jawa Tengah terletak di antara Jawa Timur dan Jawa barat. Wallahu a’lam.

[4] Lihat Fath Al Bari Syarh Shahih Al Bukhari/Ibnu Hajar Al-Asqalani/Jilid 6/Hlm 149, penjelasan hadits nomor 1774. Program Al-Maktabah Asy Syamilah.

Rep/Red: Shabra Syatila
Sumber: Ustadz Abduh Zulfidar Akaha
_______

Fiqh Sahur dan Ifthor

Kaidah pelaksanaan ibadah dalam ajaran agama Islam adalah “al-ittiba’ la al-ibtida’ yaitu mengikuti apa yang diperintahkan dan dilaksanakan Nabi, bukan berkreasi atau membuat-buat sendiri.”

Berikut uraikan fiqh sahur dan ifthor sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad saw.

وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ  قَالَ: لاَ يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اَلْفِطْرَ  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

 Dari Sahal bin Sa’ad radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Masih ada kebaikan pada orang-orang selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaq alaih)

وَلِلتِّرْمِذِيِّ: مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ  عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ: قَالَ اَللَّهُ : أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا

 Dalam riwayat Tirmizi, dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hamba yang paling Aku cintai adalah mereka yang paling cepat berbuka.”

- وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ : تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي اَلسَّحُورِ بَرَكَةً  (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

 Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda, “Hendaknya kalian makan sahur, sesungguhnya pada makanan sahur terdapat barokah.” (Muttafaq alaih)

وَعَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ اَلضَّبِّيِّ  عَنِ اَلنَّبِيِّ  قَالَ: إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ, فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ, فَإِنَّهُ طَهُورٌ  (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ)

Dari Salman bin Amir Adh-Dhabby, dari Nabi, beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah dia berbuka dengan korma, jika tidak, hendaklah dia berbuka dengan air. Karena air itu mensucikan.” (Riwayat perawi yang lima, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban serta Al-Hakim)

Pemahaman Hadits dan Kesimpulan Hukum

- Hadits 658 dan 659 menunjukkan disunahkan segera berbuka apabila telah jelas datang waktu Maghrib atau matahari telah terbenam.

- Hadits 660 meskipun redaksinya adalah bersifat perintah untuk makan sahur, namun jumhur ulama menyimpulkan bahwa makan sahur merupakan sunah puasa, dan bahwa di dalamnya terdapat barokah.

- Makan sahur, jika dikaitkan dengan kata-kata sahar yang berarti akhir malam, menunjukkan bahwa yang disunahkan dalam makan sahur adalah mengakhirkannya. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur.

- Makan sahur dikatakan barokah karena di dalamnya terdapat beberapa kebaikan; Padanya terdapat pelaksanaan sunah Nabi. Pembeda antara puasa orang-orang Islam dengan Ahlul Kitab. Waktu sahur termasuk sepertiga malam terakhir, waktu yang dianjurkan beristighfar dan waktu yang mustajabah saat Allah Ta’ala turun ke langit dunia dan memenuhi keinginan hamba-Nya yang meminta kepada-Nya.

- Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur kembali menunjukkan bahwa waktu puasa Ramadan hendaknya jelas awal dan akhirnya.

- Hadits 661 menunjukkan tentang makanan yang disunahkan untuk dimakan pertama kali saat berbuka. Berdasarkan hadits di atas, yang pertama dimakan adalah korma. Jika tidak ada, maka berbuka dengan air putih. Dalam riwayat Abu Daud dan Tirmizi diriwayatkan bahwa yang pertama kali beliau makan adalah ruthab (korma setengah matang), jika tidak ada ruthab, memakan korma, jika tidak ada korma, maka meminum beberapa teguk air putih.

- Sedikit agak berbeda dengan apa yang sering diungkapkan, bahwa kalau tidak ada korma maka berbuka dengan sesuatu yang manis. Jika merujuk hadits ini adalah bahwa jika tidak ada korma, maka hendaknya berbuka dengan air putih. Wallahua’lam.

- Air putih dikatakan mensucikan dalam hadits ini maksudnya adalah membersihkan lambung dan pencernaan.

Beberapa Hukum dan Ketentuan Terkait Berbuka
1. Menyegarakan berbuka, selain merupakan bentuk bersegara dalam kebaikan yang Allah tawarkan, dia juga merupakan sikap untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani yang menunda waktu berbuka mereka. Begitu pula makan, sahur, selain bahwa di dalamnya terdapat barokah, juga dengan melakukan makan sahur, akan menjadi pembeda puasa kita dengan puasa ahli kitab. Sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

2. Jika masih ragu, apakah waktu maghrib sudah masuk atau belum, tidak dibolehkan berbuka. Apalagi jika diyakini bahwa matahari belum tenggelam. Karena hukum asalnya adalah siang, jika terbenamnya matahari masih diragukan, maka yang dianggap adalah hari masih siang. Akan tetapi, jika diduga kemungkinan besar matahari telah tenggelam, dibolehkan berbuka.
3. Jika seseorang berbuka puasa dengan keyakinan matahari telah tenggelam. Namun terbukti kemudian bahwa matahari masih tampak. Maka berdasarkan pendapat jumhur ulama, dia harus melanjutkan puasa hingga Maghrib tapi harus mengqadha puasa hari itu.
4. Perlu diperhatikan pula sunah berbuka lainnya, yaitu berdoa, baik dengan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau dengan doa-doa kebaikan yang diinginkan. Karena saat itu termasuk waktu yang mustajabah. Disunahkan pula memberi makan orang berbuka. Dapat dilakukan dengan memberi sumbangan berbuka, atau memasak sendiri dan mengundang orang untuk berbuka puasa.
5. Jika seseorang naik pesawat di siang hari dalam keadaan puasa, maka jika dia ingin meneruskan puasanya, berbukanya ditentukan dengan tenggelamnya matahari saat dia di pesawat, bukan berdasarkan waktu di negaranya atau di tempat tujuannya. Walaupun konsekwensinya bisa lebih cepat atau lebih lama dari waktu yang biasa dia lakukan di darat.
Beberapa Hukum Dan Ketentuan Terkait Makan Sahur
1. Jika ketika berbuka, sunahnya adalah disegerakan, maka sahur sunahnya adalah diakhirkan. Hanya saja, jika diyakini telah masuk waktu fajar, harus langsung dihentikan.
2. Berbeda dengan berbuka, dalam sahur jika masih ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka masih dibolehkan makan sahur. Karena asalnya adalah tetapnya malam. Jika terbitnya fajar masih diragukan, maka yang dianggap bahwa hari masih malam. Bahkan jika seseorang bangun dari tidur, lalu dia menganggap hari masih gelap dan fajar belum terbit, kemudian dia meminum segelas air, lalu terbukti bahwa ternyata waktu Shubuh sudah masuk, maka puasanya tetap sah.
3. Tetap menyantap makanan saat azan berkumandang, sedangkan azan tersebut diyakini dikumandangkan setelah waktu fajar telah masuk, merupakan kekeliruan. Pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dibolehkan untuk terus makan saat azan adalah apabila  azannya Bilal. Karena Bilal, kebiasaannya azan beberapa lama sebelum terbit fajar, yaitu sebagai azan pertama untuk menunjukkan bahwa terbitnya fajar telah dekat. Adapun apabila mendengar azan Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum muslimin (yang hendak berpuasa) untuk meneruskan makannya, sebab Abdullah bin Umi Maktum seorang buta, dia tidak mengumandangkan azan sebelum ada orang yang memberitahu bahwa waktu fajar sudah masuk.
Aisyah radhiallahu anha berkata,

أَنَّ بِلاًلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam (sebelum terbit fajar). Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan, karena dia tidak azan kecuali setelah terbit fajar.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tujuan azan Bilal adalah agar yang qiyamullail segera menghentikan shalatnya untuk istirahat atau makan sahur jika dia hendak puasa, serta yang masih tidur agar segera bangun.

4. Kalaupun ada yang dibolehkan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, adalah apabila gelas telah diangkat ke mulut dan siap diminum, kemudian azan berkumandang, maka ketika itu dia boleh meneruskan minumnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ  (رواه الحاكم أبو داود وصححه الحاكم ووافقه الذهبي وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)

“Jika salah seorang dari kalian mendengar seruan (azan) sedangkan wadahnya telah ada di tangannya, maka jangan letakkan kembali (wadah tersebut) sebelum dia memenuhi keinginannya (memakan atau meminum yang ada di wadah tersebut).” (HR. Hakim dan Abu Daud. Hakim menyatakan hadits ini shahih dan disetujui oleh Az-Zahaby. Al-Albany juga menyatakannya shahih dalam Shahih Sunan Abu Daud)

5. Yang paling baik adalah seseorang mengakhirkan sahurnya di penghujung malam sebelum terbit fajar, namun 10 atau 15 menit sebelum terbit fajar hendaknya dia sudah selesai makan dan minum, agar terhindar dari keraguan dan memulai ibadah puasa dengan keyakinan. Di samping itu dirinya memiliki waktu untuk segera bersiap-siap melaksanakan shalat Shubuh.

Hal ini bersandar pada riwayat Anas bin Malik; Zaid bin Tsabit memberitahunya bahwa dia pernah sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu (setelah itu) mereka menunaikan shalat (Fajar). Ketika dia ditanya tentang berapa lama masa antara (selesai) sahur dengan azan? Beliau berkata, “Seukuran membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari)

6. Jadi, ada dua sikap berlebihan dalam masalah sahur pada sebagian masyarakat. Sebagian mempercepatnya di tengah malam jauh sebelum terbit fajar. Sementara sebagian lagi tetap makan dan minum meskipun azan yang diyakini sebagai pertanda terbit fajar telah berkumandang. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Disimpulkan pula dari hadits di atas bahwa dalam sahur pun dianjurkan untuk makan bersama sebagaimana Zaid bin Tsabit makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi  wa sallam.

7. Ada satu perkara yang  sering dibicarakan dalam masalah sahur ini. Yaitu ketetapan imsak yang sering dijadikan acuan sebagian masyarakat. Biasanya ditetapkan 10 menit sebelum masuknya waktu Shubuh (terbit fajar).

Kalau permasalahannya kembali kepada sikap dalam point sebelumnya, yaitu sebagai bentuk kehati-hatian agar beberapa saat sebelum azan fajar sudah selesai dari aktifitas makan dan minum, dan bahwa setelah itu masih memungkinkan bagi seseorang untuk makan dan minum selama belum diyakini telah masuk waktu fajar. Maka hal ini tidak mengapa insya Allah, bahkan itu lebih baik dibanding seseorang tetap makan ketika azan berkumandang. Permasalahan inilah yang perlu dipertegas kepada masyarakat dalam memahami dan mensikapi masalah imsak di bulan Ramadan.

Adapun jika ketetapan imsak tersebut dijadikan sebagai batas awal dimulainya puasa, yaitu bahwa  apabila telah masuk waktu imsak seseorang yang hendak berpuasa tidak lagi dibolehkan makan dan minum serta perkara yang membatalkan lainnya, maka hal tersebut jelas bertentangan dengan ketetapan syariat yang jelas-jelas menetapkan terbit fajar sebagai awal dari kewajiban menahan diri dalam berpuasa sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 187.

Maka di sini, ada dua permasalahan  yang perlu dibedakan dan diperjelas. Wallahua’lam.
_________

Bidpuan PKS Kab Madiun Selenggarakan Pesantren Anak

Pada hari Ahad, 22 juli 2012, Bidang Perempuan (Bidpuan) DPD PKS Kabupaten Madiun menyelenggarakan kegiatan Pondhok Romadhon Anak. Pesantren anak ini diselenggarakan secara serentak di 3 wilayah yakni di kecamatan Madiun, kecamatan Wungu dan kecamatan Kebonsari. Acara yang dikhusukan untuk anak-anak balita sampai kelas 6 SD tersebut diikuti ratusan anak kader dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera Kabupaten Madiun. Acara ini juga sekaligus untuk memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2012. Selain untuk mengajari dan memotivasi anak dalam berpuasa dan meningkatkan amal ibadah, kegiatan ini juga bertujuan untuk menumbuhkan kepedulian anak terhadap tetangga, sesuai dengan tema kegiatan Romadhon Partai Keadilan Sejahtera tahun ini yaitu PEDULI TETANGGA.

“Kita mengharapkan dengan kegiatan pondok Romadhon ini, anak-anak termotivasi untuk terus bersemangat dalam mengerjakan amal-amal kebaikan di bulan Romadhon dan menumbuhkan kepekaan sosial mereka terhadap lingkungan sekitar”, kata Asrifah selaku Kabid Perempuan Partai Keadilan Sejahtera Kabupaten Madiun.

Kegiatan Pondok Romadhon Anak ini ditutup dengan acara buka puasa bersama yang sebelumnya didahului dengan membagi-bagikan takjil ke tetangga sekitar lokasi kegiatan.

PKS Kab Madiun Selenggarakan "Bendhe Ramadhan"

Dalam rangka menyambut datangnya bulan suci ramdhan 1433 H, Kamis kemarin (19 Juli 2012) DPD Partai Keadilan Sejahtera Kabupaten Madiun menyelenggarakan “Bendhe Ramadhan”. Seolah sudah menjadi tradisi setiap tahun, kegiatan yang dikemas dalam bentuk pawai simpatik tersebut diselenggarakan di dua tempat yaitu di Dapil 4 dan Dapil 5. Sesuai dengan nama kegiatannya, bendhe ramadhan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada msyarakat bahwa sebentar lagi bulan suci ramadhan akan segera tiba.

Di Dapil 5 yang meliputi Kecamatan Dolopo, Geger, dan Kebonsari, kegiatan “Bendhe Ramdhan” tersebut melibatkan sekitar 100 orang kader dan simpatisan dengan mengendarai satu buah kereta kelinci yang mengangkut ibu-ibu dan anak-anak, dua buah mobil dan 20 sepeda motor. Dalam acara yang dimulai pukul 14:00 WIB dan berakhir pada pukul 16:30 tersebut, sepanjang jalan yang ditempuh PKS mengajak seluruh masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya melalui pengeras suara. Kader PKS juga membagikan jadwal imsakiyah kepada masyarakat sekitar yang dilalui rute pawai. Masyarakatpun tampak antusias menyambut arak-arakan pawai tersebut karena memang cukup menarik dengan adanya kereta kelinci dan suara “bendhe”.

Selain mengajak untuk meningkatkan ibadah, PKS juga mengajak seluruh masyarakat untuk lebih peka terhadap lingkungan sosialnya terutama dengan tetangga dekatnya. Acara pawai simpatil yang menempuh rute Uteran (Selatan Polsek Uteran) - Pagotan-Nglandung-Bacem-Kebonsari-Krandegan-Doho-Dolopo.

Sedangkan di Dapil 4 yang meliputi Kecamatan Dagangan, Kare dan Wungu melibatkan 3 buah mobil, 57 sepeda motor, dengan tital peserta sejumlah kurang lebih 125 orang. Acara dimulai pukul 14.25 WIB dengan menempuh rute dari Desa Mojopureno-Sidorejo-Banjarsawi Kulon-Prambon-Dungus-Kare. Acara berakhir pada pukul 16:30 WIB.
 
© Copyright PKS Kabupaten Madiun 2012 | Designed by Abuarsyad.